Dody Prayogo
Departemen Sosiologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16424,
Indonesia
E-mail:
dodypo@yahoo.com
Abstrak
Program corporate
social responsibility (CSR) dan community development (CD) telah
menjadi kegiatan wajib bagi semua korporasi setelah disahkannya UU No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas. Khusus bagi industri tambang dan migas,
program ini memiliki posisi strategis guna membangun relasi resiprokal antara
korporasi dengan pemangku kepentingan (stakeholder)-nya. Berhasil atau
gagalnya program ini dapat turut menentukan “keabsahan sosial” korporasi. Untuk
itu diperlukan evaluasi agar dapat menunjukkan kelebihan dan kekurangan program
CSR dan CD yang telah dilakukan. Evaluasi ini sangat penting dilakukan untuk membangun
dan menjamin relasi yang baik antara korporasi dengan pemangku kepentingan-nya.
Untuk itu, artikel ini memaparkan hal-hal pokok dalam evaluasi program,
berkenaan dengan apa (definisi) dan bagaimana (metode) evaluasi program CSR dan
CD harus dilakukan, serta bagaimana implikasi (signifikansi) hasil evaluasi
secara bisnis, social, dan legal.
Evaluation of
Corporate Social Responsibility and Community Development Programs in Mining
and Oil Industries
Abstract
Corporate social
responsibility (CSR) and community development (CD) programs are now a legal
requirement that should be implemented by corporations after the enactment of
UU No. 40 Tahun 2007 with the limited liability company. Especially for mining
and oil corporations, CSR and CD programs are strategic and significant in
order to develop good and reciprocal relationships between corporation and its stakeholders.
The successes or failure of the implementation of CSR and CD will directly
influence “social legitimacy” of the corporation. Hence, evaluation of the
program implementation is strategic in order to assess the social performance
of the corporations. The result of evaluation is also important to ensure the
relationships between corporation and its social stakeholders. In this
regard, this article deals with the meaning of evaluation (definition), how to
conduct the evaluation (method), and what is the implication (significance) of
CSR and CD program, socially, legally and commercially.
Keywords: evaluation
method, corporate social responsibility, community development, corporate
social performance, social legitimacy
43
terhadap pemangku
kepentingan mereka atau khususnya terhadap komunitas terdekat (Carrol, 1999;
Stone, 2001). Secara teknis, evaluasi atas kinerja program yang telah diimplementasikan
merupakan sebuah keharusan manajemen guna melihat seberapa tepat tujuan yang
akan dicapai dan seberapa besar capaian yang telah dihasilkan sebagai luaran
ataupun hasil dari program (Buchholtz, Allen, & Matthew 1999, Murray, 2004;
Warhurst, 2001). Secara bisnis, hasil evaluasi program dapat digunakan sebagai
salah satu sajian obyektif tentang social performance korporasi, yang
kemudian menjadi sangat bermanfaat untuk meningkatkan
44
corporate image dan bahan pertimbangan bagi calon investor dalam menanamkan
modalnya (Orlitzky & John, 2001). Secara sosial, kinerja program CSR dan CD
pada gilirannya dapat menentukan seberapa besar social legitimacy
(penerimaan sosial) para pemangku kepentingan, utamanya komunitas sekitar, atas
komitmen, kehadiran dan tindakan korporasi secara umum (Prayogo, 2008c).
Dukungan atau penolakan sosial terhadap kehadiran korporasi salah satunya
sangat bergantung pada bagaimana komitmen dan tindakan korporasi terhadap
mereka, yang secara obyektif dapat tercermin program CSR dan CD.
Khususnya Pada industri
tambang dan migas, program CSR dan CD menjadi semakin penting dewasa ini
sejalan dengan semakin kuatnya perhatian terhadap industri ekstraktif, baik
karena alasan pelestarian lingkungan maupun alasan lain seperti HAM (Hak Asasi
Manusia) serta perlindungan hak-hak ekonomi dan politik masyarakat lokal
(Sharma, Pablo, & Vredenburg1999). Citra industri tambang yang relatif
“buruk” di dalam persepsi para pegiat NGO (Non-Government Office) khususnya
lingkungan, menjadi pertimbangan penting bagaimana korporasi senantiasa
berupaya memperbaiki citra mereka. Sebagai contoh, kasus strategi bisnis
“brutal” perusahaan minyak Shell terhadap masyarakat kawasan di Ogoni, Nigeria,
menghasilkan citra sangat buruk terhadap Shell di seluruh dunia. Bahkan Green
Peace menempatkan perusahaan ini sebagai korporasi migas “terburuk” sedunia
setelah salah seorang aktivis lingkungan lokal dihukum gantung oleh rejim
ototiter Nigeria akibat perlawanan mereka menuntut kerusakan lingkungan yang
dilakukan oleh Shell. Akibat peristiwa ini, Shell harus mengubah paradigma
bisnisnya dengan membangun kembali skenario bisnis menghadapi perubahan
pandangan masyarakat dunia (Davis, 2002). Relasi antara korporasi dengan
pemangku kepentingan mereka kaji ulang sekaligus mereka sesuaikan dengan
perubahan sosial-politik yang terjadi baik lokal maupun maupun global.
Citra korporasi dalam
industri tambang dan migas berbeda dengan industri jasa, perkebunan atau
manufaktur secara umum. Dilihat dari aspek lingkungan dan relasinya dengan
komunitas lokal, citra industri tambang relatif “lebih buruk” dari industri
lainnya (Yakoveleva, 2005). Hal demikian terjadi karena eksploitasi sumber alam
dan praktek lingkungan yang dilakukan oleh industri ini banyak bertentangan
dengan tujuan pelestarian lingkungan dan kepentingan ekonomi masyarakat lokal.
Oleh karenanya, untuk membangun “citra baik” serta “relasi baik” dengan
pemangku kepentingan mereka, maka penilaian kinerja CSR dan CD korporasi dalam
industri tambang dan migas menjadi sangat penting dilakukan. Selanjutnya
kinerja sosial korporasi yang baik akan meningkatkan peluang investor baru
untuk menanamkan modalnya serta
MAKARA, SOSIAL
HUMANIORA, VOL. 15, NO. 1, JULI 2011: 43-58
mengurangi resiko
korporasi dalam relasi dengan pemangku kepentingan mereka. Secara lebih fokus
evaluasi program ditujukan untuk memenuhi pertimbangan “sosial” dan “bisnis”
tersebut, yakni relasi dengan pemangku kepentingan dan citra korporasi,
sementara pertimbangan “teknis” atau manajemen hanya melengkapi dua pertimbangan
sebelumnya. Dengan melaksanakan program CSR dan CD secara baik, maka resiko
bisnis atas tekanan dari pemangku kepentingan sosial terhadap korporasi akan
semakin rendah. Oleh sebab itu, untuk memastikan korporasi telah melaksanakan
program CSR dan CD secara baik diperlukan evaluasi terhadap program tersebut.
2. Metode Penelitian
Artikel ini merupakan
sebuah paparan tentang metode tulisan (cara kerja) dalam melakukan evaluasi
program CSR dan CD, hasil pengalaman langsung dari sejumlah evaluasi yang telah
penulis lakukan hasil sejumlah studi evaluasi di lapangan. Beberapa hasil studi
tersebut antara lain: “Evaluasi program community development Conoco Phillips,
Kecamatan Palmatak dan Terempa, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau”
(2007),“Evaluasi Komprehensif Program Community Development Premier Oil,
Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau” (2008), “Evaluasi Program Community
Development 2008-2009 Premier Oil, Kabupaten Anambas” (2010), dan “Studi
Evaluasi dan Rencana Pengembangan Program Community Development Konsorsium
Industri Tambang Granit, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau” (2010).
Dari hasil studi
evaluasi lapangan tersebut kemudian dirumuskan kembali langkah-langkah kerja
yang telah dilakukan, mulai dari studi pustaka, pengembangan disain studi, penetapan
fokus substansi evaluasi, cara pengumpulan data, cara analisis data serta
penarikan kesimpulan. Dengan demikian analisis data dilakukan terhadap
hasil-hasil laporan studi di atas dengan membandingkan metode antara hasil
penelitian satu dengan yang lain, dan kemudian merumuskan kembali
langkah-langkah kerja keseluruhan. Analisis dilakukan bukan terhadp data hasil
penelitian, melainkan langkah kerja yang telah dilakukan. Untuk itu, berikut
ini dipaparkan bagaimana langkah-langkah hasil-hasil studi evaluasi tersebut.
3. Hasil dan
Pembahasan
3.1 Evaluasi
Program.
Secara akademik, metode kerja
evaluasi CD sama dengan riset ilmiah umumnya, hanya dalam evaluasi diberikan
penekanan aspek praktis secara labih khusus. Artinya, evaluasi program lebih
ditujukan untuk menilai capaian kerja serta bagaimana menyempurnakan program
selanjutnya. Namun demikian, masalah objektivitas, netralitas, validitas,
serta reliabilitas
adalah sama dengan penelitian akademik karena hasil evaluasi harus obyektif
agar absah digunakan sebagai dasar kebijakan program selanjutnya.
Untuk itu, dapat
dipaparkan bahwa secara garis besar metode kerja dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu: pertama, melakukan formulasi disain evaluasi termasuk menetapkan
variabel, indikator dan ukuran serta metode pengumpulan dan analisis data.
Kedua, melakukan penelitian lapangan dengan sebelumnya membuat rencana kerja,
menetapkan sampel, informan, objek observasi dan data sekunder. Ketiga,
memproses, menyeleksi dan merapikan data, baik data kuantitatif maupun
kualitatif. Pada bagian ini juga dilakukan analisis data dan penulisan laporan.
Langkah kerja seperti
ini sangat umum dilakukan dalam penelitian lapangan. Namun perbedaannya,
substansi dan metode dalam evaluasi dirancang secara khusus untuk memberikan
penilaian “baik-buruk” atau “berhasil-gagal” berkenaan dengan keadaan atau
capaian kerja program. Oleh sebab itu, dalam proses penilaian ini sangat
ditekankan pentingnya etika dan pendekatan yang terandalkan agar hasil evaluasi
benar-benar.
Pengertian evaluasi (evaluation)
kerap dibaurkan dengan konsep sejenis lain seperti monitoring atau appraisal.
Dalam prakteknya, keseluruhan konsep tersebut memang saling berkait-erat, namun
akan berbeda jika dikaitkan dengan substansi yang hendak diukur. Secara
konseptual Dale (2004) membedakan konsep-konsep tersebut. Evaluasi merupakan
upaya menilai keseluruhan sejumlah hasil dari sebuah kegiatan atau program
pembangunan. Konsep monitoring akan lebih spesifik memfokuskan penilaian pada
hal tertentu saja seperti keadaan antar waktu saat program masih dalam proses
implementasi. Jika didefinisikan, evaluasi merupakan upaya bagaimana menilai
capaian tertentu sebuah program atau kegiatan pembangunan, ”...assessing the
value of...”. Menilai hasil atau capaian kegiatan bisa berupa kegiatan
proyek atau program, baik di pertengahan maupun di akhir program. Tujuan utama
melakukan evaluasi adalah untuk memastikan bahwa program yang dilakukan
berjalan sebagaimana rencana yang dibuat serta sesuai dengan tujuan akhir yang
hendak dicapai. Karenanya, variabel utama yang perlu dinilai dalam evaluasi
mengacu kepada variabel tujuan program atau proyek dan kemudian mengukurnya
seberapa jauh capaian program menurut indikator tujuan dimaksud. Monitoring
merupakan penilaian saat tertentu saja atas program atau proyek yang masih
sedang berjalan,”frequent assessment of output or outcome...” (Dale,
2004). Monitoring merupakan penilaian berkelanjutan atas proyek atau program
yang sedang berjalan, bisa setiap triwulan, semester, atau tahunan, untuk
memastikan implementasi dan alokasi resource
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA,
VOL. 15, NO. 1, JULI 2011: 43-58
45
berjalan sebagaimana
rencana dan jadwal. Adapun appraisal merupakan penilaian atas proposal
atau usulan kegiatan, dapat berupa proyek atau program, berkenaan dengan apakah
usulan tersebut layak dikerjakan baik dinilai dari input-nya maupun
kemungkinan capaiannya luarannya.
3.2 Bentuk Evaluasi.
Berkaitan dengan konsep evaluasi, dapat
dibedakan tiga bentuk evaluasi, yakni formative evaluation,summative
evaluation, dan empowerment evaluation (Dale, 2004). Evaluasi
formatif (formative evaluasi) merupakan penilaian untuk meningkatkan
kinerja atau kinerja program, biasanya dilakukan saat program masih atau sedang
berjalan. Evaluasi seperti ini banyak dilakukan di pertengahan program,
dimaksudkan untuk memastikan bahwa program berjalan sesuai rencana dan jadwal
sehingga tujuan dapat tercapai tepat waktu. Evaluasi sumatif (summative
evaluation) adalah evaluasi di akhir
program untuk memastikan bahwa program yang dijalankan berhasil atau gagal
menurut tujuan program. Penilaian seperti ini diperlukan untuk memastikan bahwa
jika program yang sama diterapkan di tempat lain yang konteksnya relatif sama
maka akan diperoleh tingkat keberhasilan yang sama pula. Oleh sebab itu, dalam
evaluasi sumatif, penilaian dilakukan secara menyeluruh terhadap elemen
perencanaan dan variabel tujuan yang hendak dicapai. Bentuk ketiga, yakni evaluasi
pemberdayaan (empowerment evaluation), adalah
penilaian untuk melihat tingkat keberhasilan kegiatan atau program menurut
ukuran ”pemberdayaan,” seperti capacity building, kemampuan mengelola
organisasi, peningkatan kesadaran pemanfaat serta aspek lain terkait dengan
konsep pemberdayaan. Dengan tujuan program seperti ini, maka penilaian hasil
program berbeda dengan bentuk evaluasi lainnya, yakni menilai seberapa besar
”tingkat kemandirian” penerima jika program sepenuhnya dilaksanakan mereka.
Perbedaan bentuk-bentuk
evaluasi turut ditentukan oleh bagaimana pendekatan program (CSR dan CD) yang
digunakan. Karena perbedaan pendekatan program dipengaruhi oleh perspektif dan
pendekatan, kepentingan serta tujuan yang hendak dicapai, maka evaluasi atas
keberhasilan program harus merujuk pada aspek tersebut. Tingkat keberhasilan
program menurut perspektif locality development, misalnya, akan berbeda
dengan perpektif social action dan social planning (Botes and
Rensburg, 2000; Gunn & Hazel, 1991) .
. Karena
tujuan program menurut perpektif locality development adalah melakukan
pembangunan dengan meningkatkan kemandirian, maka ukuran keberhasilannya adalah
derajat ”independency” komunitas atau masyarakat terhadap bantuan dan
intervensi luar. Sementara menurut perpektif social action, tujuan
program CSR dan CD adalah membuat perubahan sosial, meningkatkan posisi tawar
komunitas atau masyarakat terhadap institusi lain sehingga pengukuran
keberhasilan program akan ditekankan pada tingkat
46
”pemberdayaan” yang
dicapai oleh komunitas bersangkutan. Menurut pendekatan ini bentuk evaluasi
yang kerap digunakan adalah bentuk evaluasi pemberdayaan dengan melihat
bagaimana capacity building komunitas dalam melakukan pembangunan atau
bahkan gerakan sosial secara mandiri.
Pada pendekatan social
planning, tujuan utama yang hendak dicapai adalah memecahkan masalah
tertentu dalam masyarakat, seperti masalah kemiskinan, pendidikan, kesehatan
atau sejenisnya. Untuk tujuan itu maka keberhasilan program dilihat dari
seberapa jauh derajat pemecahan masalah dimaksud dapat tercapai, sehingga
bentuk evaluasi yang relevan digunakan adalah bentuk evaluasi formatif dan
sumatif. Karena pendekatan program CSR dan CD lebih mengacu pada social
planning, maka bentuk evaluasi program yang banyak dilakukan adalah bentuk
formatif dan sumatif.
Evaluasi formatif
dimaksudkan untuk menilai capaian program sesuai dengan rencana, sementara
sumatif digunakan untuk menjamin bahwa program tersebut dapat diaplikasikan di
tempat lain. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa bentuk evaluasi yang
digunakan menyesuaikan diri—baik isi maupun metodenya— dengan pendekatan program yang digunakan karena
masing-masing pendekatan memiliki misi dan strategi kerja yang berbeda.
Jika lebih dipertajam,
bentuk evaluasi formatif dan sumatif dapat lebih diperinci dengan melihat
tujuan atau capaian yang hendak dicapai dalam dokumen perencanaan. Tujuan atau
capaian ini dapat dilihat pada masing-masing indikatornya. Idealnya memang
tujuan dan indikator keberhasilan program tertera dalam dokumen perencanaan,
namun sebagian besar program CSR dan CD tidak mencantumkan indikator
keberhasilan, bahkan banyak korporasi tidak memiliki dokumen perencanaan CSR
dan CD. Jika hal ini yang terjadi maka sebelum melakukan evaluasi terlebih
dahulu harus dikembangkan indikator dan ukuran. Secara struktural, evaluasi
keberhasilan program secara keseluruhan dapat dipilah dalam tingkatan
prosesnya, yakni dari tujuan langsung yang nyata (outcome) hingga ke
tingkat yang lebih tidak langsung seperti dampak (impact). Dengan
kerangka ini dapat dievaluasi keadaan mulai dari tingkat intended objectives
hingga ke tingkat development objectives. Pada tingkat intended (capaian),
evaluasi dilakukan terhadap output atau keluaran program secara
langsung, apakah keluaran sesuai dengan yang direncanakan atau tidak (Tabel 1).
Pada tingkat immediate
(langsung), evaluasi dapat dilakukan terhadap perubahan yang secara
langsung dan nyata dapat diidentifikasi (direct change). Pada model
perencanaan direct change ini kerap disebut dengan outcome (Maignan
& Ferrell 2004). Pada tingkat effects, evaluasi dapat difokuskan pada bentuk perubahan lebih
MAKARA, SOSIAL
HUMANIORA, VOL. 15, NO. 1, JULI 2011: 43-58
Tabel 1. Tingkatan
Perencanaan dan Indikator Evaluasi
Perencanaan Evaluasi Intended
objectives Outputs Immediate objectives Direct chanmge/outcomes Effects
objectives Effects Development objectives Impacts Sumber: Dale, 2004.
lanjut dari outcome,
adakah dan seberapa besar program berpengaruh terhadap aspek atau keadaan yang
lain. Akhirnya, secara keseluruhan evaluasi program dapat dilihat dari impacts,
yakni dampak keseluruhan program terhadap keadaan masyarakat yang hendak
dibangun. Dengan penilaian secara bertingkat seperti ini, maka dapat dilihat
hingga tingkat mana keberhasilan sebuah program.
Namun kelemahan utama
dari cara penilaian seperti ini adalah tidak seluruh dokumen perencanaan
program menyediakan indikator, artinya indikator outputs, outcomes,effects
dan impacts, harus dibangun oleh para penilai sebelum melakukan
evaluasi. Jika ini yang terjadi bias dapat terjadi karena evaluator tidak
selalu memahami betul ”jiwa” dari perencanaan program yang dimaksud dan hanya
melihat pada tujuan dan capaian akhir dari program saja. Mungkin saja terdapat ”hidden
agenda” yang sebenarnya ada dalam program namun tidak terungkap dalam
evaluasi.
3.3 Etika Evaluasi.
Metode merupakan bagian penting dalam proses evaluasi
karena validitas (keabsahan) hasil evaluasi ditentukan oleh metode evaluasi
ini. Namun selain metode evaluasi, integritas evaluator sebagai aktor pelaksana
sangat menentukan absah-tidaknya hasil evaluasi (Denzin & Lincoln, 2000).
Terdapat beberapa prinsip penting yang perlu ditegaskan, yakni objektivitas
(berdasar kenyataan) dan netralitas (tidak berpihak). Untuk mencapai
objektivitas dan netralitas diperlukan integritas dari aktor pelaksana evaluasi
(evaluator). Kerap operasionalisasi instrumen evaluasi dikembangkan oleh
evaluator, mulai dari pengumpulan data, perapihan dan seleksi data, penyajian
data, hingga penyimpulan akhir, sehingga integritas aktor sangat menentukan
keseluruhan hasil evaluasi. Kesimpulan akhir evaluasi dapat berbeda jika aktor
pelaksananya memiliki kepentingan atas hasil evaluasi. Oleh sebab itu, sangat
disarankan pekerjaan evaluasi dilakukan oleh pihak ketiga, bukan oleh pelaksana
program atau penyandang dana atau pemberi donor. Dengan posisinya sebagai pihak
ketiga—yang diasumsikan tidak memiliki kepentingan—evaluator dapat melakukan
evaluasi secara netral, obyektif dan value free (bebas nilai). Lebih
dari itu, hasil evaluasi akan lebih dapat diterima oleh kalangan luas jika
dikerjakan oleh lembaga atau aktor yang dapat dipercaya integritasnya. Saat
ini, lembaga yang kuat dan dapat dipercaya serta diterima
oleh semua pihak
(legitimasi tinggi) dalam memberikan penilaian program CSR dan CD korporasi
praktis masih sangat terbatas. Karenanya dalam evaluasi program CSR dan
CD—sebagaimana kerja akademik umumnya—integritas pelaksana evaluasi menentuan
keabsahan dan tingkat kepercayaan pihak terkait atas hasil evaluasi
keseluruhan.
Selain masalah etika,
pendekatan kerja dalam evaluasi menentukan tingkat keterandalan hasil evaluasi
keseluruhan. Secara substansial, kegiatan evaluasi merupakan upaya penilaian
atas kinerja kegiatan pembangunan (CSR dan CD). Upaya penilaian seperti ini
dapat dilakukan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Namun untuk
menyajikan hasil pengukuran “tinggi-rendah” atau “baik-buruk” atas suatu keadaan
atau capaian, maka akan lebih dapat dipahami, diterima dan dipercaya
pengukurannya jika disajikan dalam ukuran kuantitatif. Skala pengukuran ini
tidak harus dalam skala rasio melainkan dapat juga dalam skala interval atau
bahkan nominal sejauh dapat didefinisikan. Dengan demikian secara substansial
kegiatan evaluasi mengisyaratkan preferensi penggunaan pendekatan kuantitatif
untuk menunjukan kinerja atau capaian program. Namun hal ini tidak berarti
pendekatan kualitatif tidak bermanfaat sama sekali (Patton, 1990). Penjelasan
secara kualitatif sangat dibutuhkan guna menerangkan penjelasan lebih mendalam
atas sebuah penilaian. Alasan atau sebab lebih jauh tentang sebuah penilaian
dapat diperdalam melalui penjelasan secara kualitatif, apalagi jika berkenaan dengan
objek yang intangible, misalnya penilaian tentang tingkat ”kepuasan”,
”persetujuan” atau ”integrasi sosial”. Namun tidak seluruh substansi yang
dievaluasi berskala rasio sehingga perlu dikonversi ke dalam penilaian yang
dapat dibaca perbedaan antara satu tingkat dengan lainnya. Secara singkat,
dapat disebutkan bahwa pendekatan kuantitatif merupakan pendekatan yang kerap
digunakan dalam evaluasi program CSR dan CD, namun untuk memperoleh pemahaman
lebih dalam diperlukan penilaian dan penjelasan kualitatif untuk melengkapi
penilaian kuantitatif tersebut.
3.4 Langkah Kerja
Evaluasi.
Metode kerja evaluasi program
CSR dan CD pada prinsipnya sama dengan metode kerja riset terapan (Wartick,
2002). Ketepatan pilihan jenis metode serta bagaimana memilih prosedur atau
langkah kerja yang tepat akan sangat menentukan keseluruhan hasil evaluasi.
Artinya, hasil evaluasi hanya dapat dipastikan validitasnya jika dijamin oleh
metode riset yang tepat serta dikerjakan dengan proses kerja yang benar secara
ilmiah. Penetapan metode yang benar akan memastikan bahwa data yang
dikumpulkan, diolah, dianalisis dan disajikan adalah akurat karena dilakukan
dengan cara tepat dalam ukuran akademik (CSRM, 2005; CSRM, 2007). Oleh sebab
itu, dalam menampilkan laporan evaluasi program sangat penting dijelaskan
bagaimana metode kerja yang digunakan.
MAKARA, SOSIAL
HUMANIORA, VOL. 15, NO. 1, JULI 2011: 43-58
47
Pilihan dan ketepatan
metode kerja dalam evaluasi program akan memastikan “appropriateness”
atau ”fit for purpose”atas keseluruhan hasil evaluasi (Denscombe, 2003).
Sejatinya, kerja
evaluasi merupakan upaya menilai tinggi-rendahnya kinerja atau capaian suatu
kegiatan atau program, serta menetapkan nilai hasil atas apa yang telah
dikerjakan. Umumnya penetapan nilai atas suatu keadaan akan lebih bermakna jika
disimbolisasikan dalam bentuk angka (numerical) sehingga akan jelas
perbedaan ”tinggi-rendah”, ”baik-buruk” atau ”berhasil-gagal” capaian program.
Konsekuensi metodologis dari upaya penilaian seperti ini adalah pendekatan yang
relevan untuk digunakan adalah pendekatan deduktif dengan metode riset
kuantitatif (King, Lynn, & Carol, 1987). Dengan pendekatan deduktif,
kerangka evaluasi harus diformulasikan terlebih dahulu untuk kemudian dapat
digunakan sebagai kerangka menilai kinerja program. Oleh sebab itu, konsep atau
variabel yang akan diukur sangat penting untuk didefinisikan batasannya. Konsep
sebagai komponen program yang dikerjakan perlu diterjemahkan dan kemudian
dielaborasi ke dalam indikator-indikator yang dapat diukur tinggi-rendahnya.
Jika indikator sudah dapat ditetapkan maka tugas selanjutnya adalah menetapkan
ukuran “tinggi-rendah”, atau “baik-buruk” atau “berhasil-gagal.” Walaupun
bergantung pada substansi yang hendak diukur, nilai capaian dapat disubstitusi
ke dalam angka sehingga akan terlihat perbedaan antara ukuran satu dengan
lainnya. Penting dicatat, pengukuran (measuring) tidak harus selalu
bersifat kuantitatif melainkan dapat juga bersifat kualitatif (Gauthier, 2005).
Namun penilaian kualitatif akan lebih bermakna jika disubstitusi
(dikonversikan) ke dalam satuan numerikal agar mudah melihat perbedaan ukuran
satu dengan lainnya. Untuk itu perlu dibuat definisi dari masing-masing
indikator yang akan digunakan agar kemudian dapat ditentukan ukurannya.
Jika pendekatan dan
pengukuran sudah cukup jelas maka penjelasan yang diperlukan selanjutnya adalah
memaparkan langkah kerja evaluasi. Langkah kerja evaluasi merupakan prosedur
kerja yang turut menentukan tinggi-rendahnya validitas hasil evaluasi.
Penjelasan tentang metode evaluasi diperlukan agar dapat dipahami dan dijamin
bahwa hasil-hasil evaluasi diperoleh dengan prosedur yang benar secara ilmiah.
Secara prinsip, sama dengan riset umumnya, langkah kerja evaluasi dapat dipilah
ke dalam empat tahap, yakni pertama, memformulasi disain evaluasi; kedua,
mengumpulkan data atau penilaian lapangan; ketiga, merapikan, menyajikan dan
menganalisis, dan memberi penilaian data; keempat, membuat laporan dan
mengajukan saran dan rekomendasi untuk perbaikan program selanjutnya. Keseluruhan
tahap kerja ini merupakan sebuah proses yang berkelanjutan, baik-tidaknya
pengerjaan satu tahap menentukan tahap
48
berikutnya. Dengan
pendekatan deduktif, maka tahap formulasi disain evaluasi sangat menentukan
tahap berikutnya. Artinya, substansi yang akan dievaluasi serta kualitas data
yang akan diperoleh ditentukan oleh bagaimana kesempurnaan disain evaluasi.
Dalam tulisan ini akan dibahas khususnya langkah kerja bagaimana membuat
formulasi disain.
Formulasi
Substansi Evaluasi. Sebagaimana
disinggung sebelumnya, substansi evaluasi sangat ditentukan oleh bagaimana
perencanaan program pada waktu dibuat, antara lain tujuan dan pendekatan yang
digunakan. Oleh karenanya, substansi evaluasi seharusnya merujuk pada tujuan
dan capaian yang akan dihasilkan dalam perencanaan program. Untuk memahami
lebih jauh tujuan dan capaian, evaluator perlu memahami pendekatan yang
digunakan dalam program yang biasanya dijelaskan dalam latar-belakang program,
atau secara implisit dan eksplisit tertera dalam tujuan program. Namun pada
banyak program CSR dan CD yang dilakukan korporasi tambang dan migas umumnya,
tidak tertera secara tegas tujuan dan capaian yang hendak dicapai oleh program.
Hal demikian terjadi karena hakekat program CD pada korporasi tambang dan migas
umumnya masih bersifat instrumental, yaitu “sekedar” alat untuk membangun
komunikasi dan relasi, dan belum menyatu dalam paradigma bisnis mereka.
Selain itu, filosofi
bisnis industri ini adalah “eksploitasi” sumber alam, sehingga mungkin sulit
bagi industri ini untuk menempatkan CSR dan CD ke dalam proses produksi mereka.
Karenanya, program CSR dan CD merupakan “filantropi” saja, sekedar “good
will” korporasi terhadap lingkungan sosial
sekitar, belum menjadi “social obligation” secara etik (Hennigfeld,
Manfred & Nick, 2006; Griffin, 2000). Pada banyak korporasi tambang dan
migas sulit ditemukan sebuah buku program CSR dan CD yang lengkap menyajikan secara
tegas dan strategis mengenai tujuan dan capaian yang hendak diwujudkan dalam
lima tahun kegiatan program. Keadaan mungkin akan berubah setelah tekanan
publik terhadap industri ini semakin kuat, khususnya berkenaan dengan dampak
dan manfaat industri terhadap masyarakat lokal di sekitarnya. Berbeda dengan
program CSR dan CD pada industri manufaktur dan agribisnis, keberadaan
komunitas sekitar merupakan bagian dari proses produksi yang sulit dipisahkan.
Bahkan beberapa korporasi perkebunan sudah menyatukan prinsip dan tata-kelola
CSR dan CD ke dalam moda produksi mereka, seperti terlihat pada model
Perkebunan Inti-Rakyat (PIR), atau seperti model perkebunan teh di Pangalengan,
Jawa Barat.
Karena ketiadaan
perencanaan program maka jika hendak dievaluasi, substansi CSR dan CD harus
diformulasikan terlebih dahulu agar sungguh-sungguh relevan dengan substansi
yang hendak dinilai. Pelingkupan substansi ini dapat difokuskan pada
MAKARA, SOSIAL
HUMANIORA, VOL. 15, NO. 1, JULI 2011: 43-58
kegiatan program yang sudah
dilakukan. Namun selain itu, untuk memahami lebih dalam substansi dan
pelaksanaan progtam, diperlukan pemahaman tentang tipologi komunitas serta
tipologi desa dimana program diimplementasikan. Deskripsi tipologi desa dan
komunitas harus secara langsung dikaitkan dengan program CSR dan CD. Selain
itu, berkaitan dengan berhasil-tidaknya program CSR dan CD, perlu dipahami
bagaimana potensi komunitas dan desa yang bersangkutan, berkenaan dengan
ketersediaan sumber daya, organisasi sosial, peluang pasar serta hal terkait
lain. Secara garis besar setidaknya dapat dipetakan tiga dimensi substansi
penting dalam evaluasi program CSR dan CD, yakni: 1) program CSR dan CD terkait
dengan variabel yang hendak dinilai; 2) pemetaan tipologi desa dan komunitas
dikaitkan dengan program CSR dan CD; dan 3) pemetaan potensi desa dan komunitas
untuk pengembangan program yang relevan (Tabel 2). Selain tiga dimensi ini,
substansi evaluasi dapat diperluas dimensi dan variabelnya bergantung kepada
cakupan dan kebutuhan penilaian.
Secara substansial dan
organisasional, keberhasilan program CSR dan CD ditentukan oleh keadaan
pemangku kepentingan penerima. Pada program CSR dan CD yang ditujukan kepada
komunitas lokal, tipologi desa/wilayah dan komunitas serta potensi lokal sangat
signifikan menetukan berhasil-tidak program (Prayogo dkk., 2007 dan 2008a).
Oleh sebab itu, keberhasilan program ditentukan oleh banyak faktor, antara lain
perencanaan program, organisasi dan budget. Sejumlah hasil evaluasi yang telah
penulis lakukan menunjukkan bahwa sebagian permasalahan dalam program CSR dan
CD terletak pada keadaan komunitas itu sendiri, serta bagaimana potensi yang
ada pada wilayah (desa) dan komunitas tersebut. Oleh karenanya, dengan melihat
dan mempertimbangkan keadaan wilayah dan komunitas serta potensi yang ada pada
komunitas, maka sebuah evaluasi program CSR dan CD akan menjadi lebih lengkap,
utuh dan obyektif karena dilihat dari cakupan yang lebih komprehensif.
Penetapan Cakupan
Wilayah dan Waktu. Selain cakupan
subtansi, cakupan wilayah dan waktu sangat penting didefinisikan di muka.
Program CSR dan CD industri tambang dan migas biasanya diterapkan pada wilayah
yang luas dan tersebar, serta dalam kurun waktu sudah lama atau mungkin baru
saja dimulai. Berdasarkan pengalaman penulis hingga sekitar akhir tahun 1990an,
jarang sekali dilakukan evaluasi terhadap program CSR dan CD. Hal demikian
terjadi karena program CSR dan CD belum banyak dikerjakan, terutama ditujukan
lebih karena alasan bisnis dan keamanan, atau sebagai respons atas tekanan dan
permintaan masyarakat lokal serta kelompok kepentingan. Program seperti ini
lebih sebagai “charity” daripada “responsibility” korporasi
terhadap masyarakat di sekelilingnya. Oleh sebab itu evaluasi
kinerja dan kinerja
program tidak penting dilakukan karena manajemen tidak memerlukan hasil apakah
progam berjalan baik dan tepat sasaran. Sejauh program dapat menghilangkan atau
mengurangi “tekanan sosial”, maka secara umum dinilai berhasil terutama dari
sudut kepentingan dan keamanan korporasi.
Dari uraian ini dapat
disimpulkan bahwa diperlukan batasan wilayah yang pasti untuk menentukan luasan
daerah yang akan dievaluasi, misalnya desa, kecamatan atau kabupaten karena
batasan wilayah turut menentukan kinerja program. Jika terlalu luas dan banyak,
maka wilayah program perlu dipilah ke dalam beberapa kategori, dan selanjutnya
evaluasi dapat dilakukan terhadap sampel wilayah tertentu saja yang mewakili
masing-masing kategori. Penetapan batasan wilayah akan memiliki implikasi
langsung terhadap lama penelitian, jumlah peneliti yang dibutuhkan serta
tentunya biaya penelitian.
Demikian pula dengan
batasan waktu. Perlu pembatasan cakupan waktu program yang akan dievaluasi
karena hal ini akan menentukan substansi, pola manajemen serta sumber daya yang
diinvestasikan. Biasanya cakupan waktu program yang akan dievaluasi pada posisi
waktu 2-3 tahun sedang berjalan, atau pada posisi waktu tahun ke-5 di akhir
program. Asumsi ini diambil
MAKARA, SOSIAL
HUMANIORA, VOL. 15, NO. 1, JULI 2011: 43-58
Tabel 2. Substansi
Evaluasi
49
Dimensi Variabel Subjek
Tipologi Wilayah dan Komunitas Tipologi Desa Geografi Data sekunder/monograf
statistik Demografi Data sekunder/monograf statistik Ekonomi Data
sekunder/monograf statistik Infrastruktur publik Data sekunder/monograf
statistik Tipologi Komunitas Struktur sosial Masyarakat umum, tokoh informal
dan formal Kultur sosial Masyarakat umum, tokoh informal dan formal Dinamika
hubungan sosial-politik Masyarakat umum, tokoh informal dan formal Program CSR
dan CD Manfaat Pemanfaat dan non-pemanfaat, tokoh masyarakat, aparat
pemda/desa, staf pelaksana CD, subjek relevan lain Kesesuaian Pemanfaat dan
non-pemanfaat, tokoh masyarakat, aparat pemda/desa, staf pelaksana CD, subjek
relevan lain Keberlanjutan Pemanfaat dan non-pemanfaat, tokoh masyarakat,
aparat pemda/desa, staf pelaksana CD, subjek relevan lain Dampak Pemanfaat dan
non-pemanfaat, tokoh masyarakat, aparat pemda/desa, staf pelaksana CD, subjek
relevan lain Organisasi Pemanfaat dan non-pemanfaat, tokoh masyarakat, aparat pemda/desa,
staf pelaksana CD, subjek relevan lain Dan lain-lain (jika diperlukan)
Pemanfaat dan non-pemanfaat, tokoh masyarakat, aparat pemda/desa, staf
pelaksana CD, subjek relevan lain PotensiSumber alam Data sekunder, tokoh
formal dan informal Sumber daya manusia Data sekunder, tokoh formal dan
informal Organisasi Tokoh formal dan informal Akses Data sekunder, tokoh formal
dan informal Dan lain-lain (jika diperlukan) Data sekunder, tokoh formal dan
informal Dimensi dan variabel lain (dapat dikembangkan bergantung pada tujuan,
isi dan pendekatan program)
karena program biasanya
berdurasi sekitar 5 tahun. Pada posisi 2-3 tahun dapat dilakukan evaluasi
pertengahan program dan pada posisi 5 tahun dilakukan evaluasi akhir program.
Namun umumnya, evaluasi dilakukan pada akhir program sebagai bentuk evaluasi
sumatif untuk dapat diterapkan pada lokasi lain. Jika dilakukan pada posisi 2-3
tahun, evaluasi dapat dikelompokan sebagai evaluasi formatif yang ditujukan
untuk penyempurnaan program yang sama pada waktu berikutnya.
Teknik
Pengumpulan dan Analisis Data. pengumpulan
data telah dilakukan dan data “mentah” (raw data) sudah terkumpul maka
pekerjaan berikut adalah merapihkan, menseleksi, mengelompokkan, menyajikan dan
menginterpretasi (membaca) data (Cresswell, 1997). Sama seperti pengumpulan
data, proses ini dapat diklasifikasi menurut sifat datanya (Tabel 3, Tabel 4).
Masing-masing sifat data memiliki kekuatan tersendiri atas informasi yang
dikandungnya. Kekuatan data hasil indepth-interview terletak pada peran dan
posisi pemberi informasi (informan). Semakin relevan peran dan posisi informan
dengan informasi yang dimaksud maka semakin kuat datanya. Kekuatan data hasil
observasi terletak pada objekobjektivitas dan ketelitian dari keadaan atau
kejadian yang dicatat dan difoto. Terkadang memang
Jika
50
Tujuan
Mencari data
berkenaan dengan tipologi desa dan
komunitas
Mencari data
berkenaan dengan program CSR dan CD
Mencari data
berkenaan dengan potensi CSR dan CD
Sumber: Adaptasi dari
Prayogo, 2008b.
Teknik Alat Kerja Matrik dengan meringkas substansi pokok hasil
wawancara dan memasukanya ke dalam sel matriks.
Cara Kerja Formulasi
matrik hasil wawancara dengan melakukan silang
secara ringkas antara informan dengan variabel atau substansi hasil wawancara.
Cara memahami data
Melihat penonjolan informasi jawaban informan. Kekuatan dan kualitas data
informasi ditentukan oleh posisi dan peran informan.
diperlukan interpretasi
hasil catatan observasi karena data tidak bersifat fisik melainkan perilaku.
Data hasil survei sangat kuat pada penonjolan angka (persentase jika
deskriptif) dan penonjolan numerikal secara statistik, misalnya persentase,
modus, mean dan kekuatan hubungan (Neuman, 1994). Data hasil survei pada
dasarnya sudah menuntun kepada kesimpulan hasil
MAKARA, SOSIAL
HUMANIORA, VOL. 15, NO. 1, JULI 2011: 43-58
Alat: pedoman
wawancara. Substansi:seluruh informasi berkaitan dengan variabel kinerja
kegiatan CSR dan CD. Informan: pemanfaat, tokoh masyarakat, institusi relevan, staf CD, NGO. Pemilihan informan:
purposif dan snowball.
Alat: pedoman
wawancara. Substansi:seluruh informasi terkait dengan potensi lokal untuk CSR
dan CD. Informan: tokoh masyarakat formal dan
informal, staf CD, pers dan NGO. Pemilihan informan: purposif dan snowball.
Tabel 3. Pengumpulan
Data
Data Primer Indepth
Observasi Survei Alat: pedoman wawancara. Alat: pedoman observasi, dan Alat:
kuesioner. Substansi:seluruh informasi berkaitan foto. Substansi: berkenaan
struktur, kultur, dinamika sosial. Cara kerja: catat dan foto dengan data
demografi Informan: tokoh masyarakat (informal kegiatan, kejadian dan bukti dan
ekonomi, dan formal): ulama, guru, adat, kades, fisik terkait. digunakan
sebagai data karang taruna, asosiasi usaha, polisi, Substansi: informasi lain
yang penunjang. NGO, pers, korporasi, dan informan relevan dengan tipologi desa
Sampel: random warga lain yang terkait. dan komunitas. umum, atau purposif
Pemilihan informan: purposif dan terhadap warga snowball. kelompok tertentu.
Meringkas dan memilah
berdasarkan substansi hasil catatan observasi dan foto.
Melihat catatan dan
hasil foto dengan mengkaitkan dengan variabel yang dimaksud. Data hasil
observasi dapat diperlakukan sebagai hard evidence.
Alat: pedoman
observasi, dan foto. Cara kerja: catat dan foto kegiatan, kejadian dan bukti
fisik terkait. Substansi: informasi lain yang relevan dengan program CSR dan
CD.
Alat: pedoman
observasi, dan foto. Cara kerja: catat dan foto kegiatan dan bukti fisik
terkait dengan potensi lokal untuk CSR dan CD. Substansi: informasi lain yang
relevan dengan program CSR dan CD.
Tabel 4. Analisis
Data Hasil
Alat: kuesioner.
Substansi: berkenaan dengan variabel program CSR dan CD yang dievaluasi.
Sampel: random pemanfaat dan non-pemanfaat.
Alat: kuesioner
Substansi: berkenaan dengan potensi yang dipikirkan responden. Sampel: random
warga pemanfaat dan non-pemanfaat.
Data Primer Hasil
Indepth Hasil Observasi Hasil Survei Matriks dan tabulasi hasil Program SPSS,
Excel serta catatan observasi serta program terkait yang diperlukan.
pengelompokan foto terkait dengan masing-masing variabel evaluasi.
Proses statistik dengan
SPSS, tabulasi dan presentasi data.
Menilai kecenderungan
numerikal dari penonjolan median, modus serta kakuatan hubungan antar variabel
(jika dilakukan silang data). Secara kuantitatif hasil SPSS sudah menuntun
penonjolan data untuk kesimpulan penilaian.
Data Sekunder
Alat: list kebutuhan
data sekunder. Substansi: data-data monograf, baik berkenaan geografi, demografi,
infrastruktur; maupun tentang komunitas lokal. Sumber: pers lokal, dinas
statistik, korporasi, kecamatan dan kantor
desa.
Alat: list kebutuhan
data sekunder. Substansi: data-data penunjang berkenaan kegiatan CSR dan CD.
Sumber: kantor CD korporasi, kantor desa dan kecamatan.
Alat: list kebutuhan
data sekunder. Substansi: data-data penunjang berkenaan potensi CSR dan CD.
Sumber: kantor CD korporasi, kantor desa dan kecamatan.
Data Dekunder Matriks
dan tabel hasil tabulasi angka, serta untuk kesimpulan penting data sekunder
kualitatif.
Memilah, seleksi,
kategorisasi, klasifikasi dan tabulasi data terkumpul.
Interpretasi penonjolan
informasi dan mengkaitkan dengan data lain (primer dan sekunder).
penelitian karena
penonjolan angka pada sampel menunjukan keadaan pada populasi yang diteliti
(inferensi). Sementara pada data sekunder, khususnya data kuantitatif,
kekuatannya terletak pada agregasi dan penonjolan angka setelah dilakukan
seleksi, klasifikasi dan tabulasi data. Penonjolan persentase atau angka
absolut menunjukan keadaan pada wilayah atau populasi
dimaksud. Untuk data
sekunder kualitatif, kekuatannya terletak pada informasi berita dan opini dari
informan yang peran dan statusnya paling tepat untuk informasi dimaksud
(Patton, 1990). Dengan cara analisis dan interpretasi data seperti ini maka
objektivitas hasil evaluasi dapat dipertahankan, tentunya netralitas dalam
pemahaman data diperlukan dari evaluator.
Dengan cara dan
prosedur pengumpulan dan analisis data seperti di atas maka dapat dipastikan
bahwa metode dan prosedur pengumpulan dan analisis data adalah benar secara
ilmiah. Pada pengumpulan dan analisis data kuantitatif, peran peneliti
(evaluator) lebih sebagai “operator” karena instrumen penelitian sudah didisain
secara terstruktur dan detil. Kesalahan dan kelemahan pada kualitas dan
validitas terletak lebih pada instrumen-nya bukan peneliti. Sementara pada
pengumpulan data kualitatif, walaupun dibuat instrumen, peran peneliti sangat
besar, baik terhadap sumber, substansi maupun interpretasi data. Peran peneliti
lebih sebagai instrumen sekaligus analisator terhadap data. Oleh sebab itu
untuk melakukan pengumpulan data kualitatif diperlukan peneliti cukup senior
untuk melakukanya. Secara keseluruhan, jika metode dan prosedur di atas sudah
dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya maka data untuk penilaian dalam
evaluasi sudah memenuhi kualitas dan validitas sebagai dasar penetapan
penilaian berikutnya.
Penetapan Sampel,
Informan, Objek Observasi dan Data Sekunder.Salah satu hal yang cukup penting dirumuskan dalam disain
evaluasi adalah menetapkan subjeksubjek dan objekobjek evaluasi. Untuk memenuhi
keharusan ilmiah dan menjamin validitas hasil evaluasi maka perlu dilakukan:
1)perumusan sampel untuk survei, 2)penetapan informan untuk depth interview,
3) penetapan objekobjek untuk observasi, 4)
penetapan data sekunder yang dibutuhkan. Pertama, khususnya untuk penarikan
sampel responden dalam survei, penetapan sampling sangat menentukan validitas
dan kualitas data. Penetapan jumlah sampel biasa menggunakan rumus statistik
yang ditarik dari jumlah populasi. Namun dari pengalaman lapangan penulis
perumusan jumlah sampel secara statistik seperti ini sulit dilakukan karena
jumlah sampel harus disesuaikan dengan komposisi jenis dan jumlah program,
serta disesuaikan dengan lokasi populasi yang tersebar pada sejumlah desa,
kecamatan, kabupaten bahkan propinsi. Pertimbangan lain yang perlu dimasukan
adalah waktu dan dana untuk studi lapangan yang tentunya ada batasnya.
Menimbang tentangan seperti ini maka jumlah sampel diupayakan tidak terlalu
besar namun masih cukup proporsional dengan jumlah populasi pemanfaat program,
serta memadai untuk dilakukan analisis statistik. Untuk itu jumlah sampel
pemanfaat dapat ditetapkan minimum 75 responden dan maksimum 300 responden,
disesuaikan dengan besar-kecilnya cakupan program dan jumlah populasi.
Selanjutnya, hal paling
penting dalam penarikan sampel adalah menentukan bagaimana teknik sampling.
Secara
MAKARA, SOSIAL
HUMANIORA, VOL. 15, NO. 1, JULI 2011: 43-58
51
statistik teknik random
(acak) adalah cara yang mutlak dilakukan guna menjamin bahwa setiap anggota
populasi memiliki probabilita yang sama untuk dijadikan sampel (memberikan
penilaian) (Neuman, 1994). Artinya, teknik sampling dengan random
ditujukan untuk menghasilkan inferensi sampel
terhadap populasi secara optimum. Sampel adalah miniatur dari populasi, dan
jika dilakukan survei penilaian program maka penilaian sampel secara statistik
persis sama dengan penilaian populasi. Namun kendala di lapangan kerap memaksa
peneliti menggunakan teknik lain, karena memang tidak tersedia data populasi
pemanfaat program, sehingga teknik random tidak dapat dilakukan. Cara lain yang
dapat digunakan adalah dengan menggunakan teknik purposive dan snowball.
Secara statistik cara ini kurang disarankan untuk menjamin prinsip inferensi,
namun karena keadaan lapangan kadang terpaksa dilakukan. Dengan cara ini
prinsip probabilita berkurang namun survei untuk penilaian masih tetap dapat
dilakukan. Jika cara kedua ini yang dilakukan maka harus djelaskan dalam
metodologi sebagai kelemahan metodologi sehingga tidak menimbulkan perdebatan
dan keraguan atas hasil evaluasi lebih lanjut.
Kedua, penetapan
informan untuk wawancara mendalam lebih mudah daripada melakukan penetapan
sampel. Hal pokok yang perlu ditegaskan dalam penetapan informan adalah
kriteria informan kunci sebagaimana yang dibutuhkan agar peneliti memperoleh
informasi yang dimaksud. Penetapan kriteria ini akan merujuk pada peran dan
posisi informan yang dibutuhkan untuk wawancara mendalam. Misalnya untuk
mengetahui pemanfaatan program dapat diwawancarai pemanfaat yang paling aktif
dalam program, ketua kelompok, kepala desa serta staf pelaksana program di
lapangan. Selanjutnya, setelah kriteria informan ditetapkan maka dapat dibuat
daftar informan yang akan diwawancarai. Pada prinsipnya peran dan posisi
informan tidak dapat diwakili, sehingga jika informan yang dimaksud sulit
ditemui maka harus diupayakan untuk dapat ditemui dan diwawancara, misalnya
melalui telepon atau media lain. Kekuatan informasi dari wawancara mendalam
adalah pada kompetensi informanya, yakni semakin absah dan dekat posisi subjek
dengan informasi yang dibutuhkan maka semakin valid dan kuat data yang
terkumpul (Patton, 1990).
Ketiga, observasi perlu
dilakukan baik terhadap kegiatan, objek fisik atau momen peristiwa yang
berkaitan dengan fokus evaluasi. Untuk mengumpulkan data ini dapat dilakukan
perencanaan sebelumnya dengan menetapkan keadaan, kegiatan dan peristiwa apa
yang perlu direkam dan ditatat, serta bagaimana teknik observasi dilakukan.
Misalnya, untuk membuktikan bahwa program air bersih berjalan baik maka dapat
diobservasi kegiatan masyarakat yang terkait dengan program ini, merekamnya
dalam video atau foto serta mencatat hal-hal penting, yang kemudian dapat
menjadi data evaluasi program dimaksud. Hasil observasi
52
merupakan hard
evidence, bukti nyata yang mendukung hasil-hasil evaluasi. Pernyataan
tentang ada-tidak, baik-buruk, dan berhasil-gagal salah satunya dapat
ditunjukan oleh data-data hasil obervasi. Data hasil survei dan wawancara
mendalam memang memiliki “makna” penting namun masih merupakan ungkapan subjek,
dan akan lebih kuat jika pernyataan atau pendapat tersebut didukung oleh hard
evidence hasil observasi (Cresswell, 1997). Untuk itu yang perlu
dipersiapkan untuk melakukan observasi dengan membuat kerangka observasi,
berisi daftar objek, kegiatan atau peristiwa yang penting diamati, kapan
waktunya serta bagaimana melakukannya.
Keempat, data sekunder
dapat diperlakukan sebagai data awal dan data pendukung yang sangat penting.
Sebelum evaluasi lapangan dilakukan, evaluator harus mengumukan data sekunder
sebagai data yang dapat menuntunnya dalam membuat disain evaluasi. Selanjutnya,
data sekunder dapat dikumpulkan saat penelitian lapangan untuk digunakan
sebagai data pembuktian dan memperkuat penilaian peneliti. Data sekunder yang
diperlukan, selain tentunya berkenaan dengan program yang akan dievaluasi, juga
berkenaan dengan keadaan masyarakat lokasi program. Khusus data sekunder
program, penting dikumpulkan data tentang perencanaan atau disain program,
laporan tahunan, realisasi dan hasil monitoring, organisasi, budget, staf yang
terlibat. Data ini secara keseluruhan turut memberi informasi tentang visi dan
misi, tujuan, capaian, dampak diharapkan, hasil pelaksanaan, hasil capaian,
manajemen, serta capaian-capaian program yang berhasil dicatat. Data sekunder
tentang desa dan masyarakat setempat yang perlu dikumpulkan berkenaan dengan
data demografi, ekonomi, infrastruktur, serta geografi secara terbatas. Untuk
melengkapi data ini jika dimungkinkan penting pula dikumpulkan artikel kajian
atau ulasan yang mungkin pernah diterbitkan dalam jurnal atau media adalah data
yang berkaitan dengan program yang dievaluasi.
Penetapan Subjek
Penilai. Masalah penting lain perlu
dibahas adalah siapa atau pihak mana yang memiliki kompetensi pemberi penilaian
dalam evaluasi. Telah disinggung bahwa bias bisa terjadi pada semua pihak yang
terlibat dalam program dan penelitian evaluasi, bisa terjadi pada evaluator,
pelaksana program, pemanfaat (beneficiaries), perancang serta penyedia
dana. Khususnya pada substansi penilaian program CSR dan CD, tentu akan ada
banyak pertimbangan yang patut diperhitungkan karena masing-masing pemberi
nilai memiliki kepentingan dan persepsi secara subjektif terhadap objek yang
dinilainya (Mahon, 2002; Wartick, 2002). Oleh karenanya prinsip triangulasi
perlu diaplikasikan dalam evaluasi program. Tetapi karena tidak seluruh subjek
memiliki pengetahuan mendalam tentang program yang akan dievaluasi, maka
pemilihan subjek penilai harus dilakukan secara seksama. Untuk mencapai objektivitas
penilaian yang optimum, maka penilaian multipemangku kepentingan perlu
dilakukan.
MAKARA, SOSIAL
HUMANIORA, VOL. 15, NO. 1, JULI 2011: 43-58
Setidaknya terdapat
tiga pemangku kepentingan penting yang penilaiannya dalam survei kuantitaif,
yakni 1) pemanfaat, 2) pelaksana program dan 3) peneliti atau evaluator.
Selebihnya, pemangku kepentingan lain seperti non-pemanfaat, pemerintah daerah,
pers, NGO, atau pemangku kepentingan lain dapat diakomodasi opininya melalui
wawancara mendalam.
Pemanfaat program
merupakan penilai keberhasilan program yang mutlak harus dimasukan dalam
kelompok penilai khususnya dalam survei. Dapat dikatakan pemanfaat program
merupakan pemangku kepentingan utama yang memiliki keabsahan paling tinggi
untuk memberi nilai program yang diterimanya. Penilaian pemanfaat dalam survei
dapat digunakan sebagai ukuran utama tentang berhasil-tidaknya atau
baik-buruknya program. Namun demikian tetap saja kerap muncul subjektivitas
pemanfaat karena perbedaan kepentingan, harapan serta ukuran subjektif tentang
nilai program. Misalnya tentang “dampak“ program, kerap pemanfaat tidak
memiliki pemahaman memadai tentang variabel ini sehingga apa arti dampak dan
bagaimana ia dapat memberi nilai atas variabel ini tidak memadai dan obyektif.
Bias, baik karena ketidaktahuan maupun sarat akan kepentingan subjek, dapat
terjadi pada para pemanfaat. Bahkan kerap pemanfaat memiliki harapan dan
ekspektasi terlalu besar terhadap program sehingga nilai yang diberikan
terhadap kinerja program menjadi rendah walaupun secara obyektif program sudah
dijalankan secara baik.
Sebaliknya pada subjek
perencana dan pelaksana program, karena berkepentingan terhadap kinerja dan
prestasi kerja mereka, bias penilaian dapat terjadi dengan memberi nilai
terlalu tinggi terhadap apa yan telah mereka lakukan. Jika ada kelemahan maka
cederung ditempatkan kepada kelompok penerima atau institusi lain. Memang ada
sebagian kasus perencana dan pelaksana program berupaya untuk bersikap netral
dan obyektif terhadap program karena mereka berkepentingan untuk memperbaiki
program untuk siklus kegiatan berikutnya. Pada satu sisi, perencana dan
pelaksana program merupakan pihak yang paling memahami visi, misi, tujuan dan
bahkan “hidden agenda“ di balik program (jika ada). Oleh sebab itu,
kepentingan mereka dapat muncul dalam pelaksanaan program sehingga dapat
terjadi bias dalam evaluasi. Untuk mengimbangi bias dari dua institusi yang
dapat “berseberangan“ penilaiannya—perencana dan pelaksana program versus
pemanfaat program—diperlukan penilai ketiga yakni evaluator itu sendiri.
Evaluator, dengan
integritas moral dan pengetahuannya, akan berupaya memberi penilaian seobyektif
mungkin terhadap program sebagai objek evaluasi. Jika terjadi perbedaan tajam
dalam penilaian antara pemanfaat dan pelaksana program, maka posisi evaluator
lebih dapat diterima sebagai pihak netral. Namun kelemahan
evaluator adalah,
pegalaman emosional dan pemahaman mendalam mereka tentang latar-belakang disain
program serta proses pelaksanaan program tidaklah sama dengan perencana dan
pelaksana program serta pemanfaat program. Emotional involvement evaluator
lebih dangkal dibanding keduanya sehingga kerap dipandang kurang memahami makna
program. Evaluator mungkin tidak mengetahui “hidden agenda“ dibanding perencana program. Selanjutnya evaluator tidak
memiliki harapan dan keinginan sebagaimana pemanfaat program. Lebih dari itu,
posisi evaluator memang harus “mengambil jarak“ dengan objek dan subjek yang
dievaluasi sehingga dalam kapasitas ini penilaian evaluator lebih “bebas nilai“
dan “bebas emosional“. Untuk itu guna mencapai titik objektivitas penilaian
optimum ketiga pihak ini perlu dilibatkan sebagai pemberi nilai dalam evaluasi
program.
Hal lain yang perlu
dipertimbangkan adalah pemangku kepentingan lain yang terkait dengan program.
Pendapat dan aspirasi komunitas, seperti tokoh masyarakat, staf pemerintah,
NGO, pers dan masyarakat umum penting pula diliput guna memperkaya pemahaman
tentang komunitas dan saran bagi perbaikan program selanjutnya. Pendapat mereka
memang hanya dapat diakomodasi berkenaan dengan aspek secara umum saja dari
program, seperti bagaimana keinginan dan kemampuan warga, saran dan pemecahan
masalah dari sisi komunitas, potensi dan kelemahan komunitas, atau hal lain
yang dapat memperkaya pemahaman peneliti tentang komunitas dan program yang
dievaluasi. Oleh karenanya, pendapat komunitas lain perlu diliput secara
selektif dan melalui wawancara kualitatif. Penilaian komunitas secara
kuantitatif terhadap program sulit dilakukan karena umumnya mereka tidak
mengetahui detil dari program sehingga beresiko untuk terjadi bias dalam
penilaian.
Cara Pengukuran
dalam Evaluasi. (measurement)
merupakan bagian sangat penting dalam kegiatan evaluasi. Perbedaan dalam ukuran
yang digunakan oleh masing-masing evaluator akan memunculkan hasil penilaian
tingkat keberhasilan yang berbeda. Demikian pula bagi pembaca atau pengguna
hasil evaluasi, sanggahan dapat muncul terhadap hasil evaluasi karena terdapat
perbedaan dalam pengukuran kinerja program. Selain itu masing-masing pihak
memiliki metode berbeda tentang bagaimana mengukur suatu keadaan atau capaian
kerja. Oleh sebab itu, sebelum hasil penilaian disajikan, perlu dijelaskan
terlebih dahulu bagaimana cara pengukuran yang digunakan oleh evaluator. Hal
ini penting untuk membangun persepsi yang sama antara evaluator (penulis) dan
pengguna (pembaca) terhadap hasil evaluasi. Perdebatan biasanya muncul bukan
pada nilai hasil evaluasi, melainkan tentang metode dan pengukuran yang
digunakan oleh evaluator. Nilai program merupakan hasil akhir dari bagaimana
metode dan ukuran yang digunakan, merupakan hasil dari sebuah proses.
Oleh karenanya, perlu dijelaskan proses, khususnya tentang ukuran yang
digunakan untuk
MAKARA, SOSIAL
HUMANIORA, VOL. 15, NO. 1, JULI 2011: 43-58
Pengukuran
53
menjamin validitas dan
objektivitas guna menghasilkan legitimasi maksimum dari kalangan luas.
Khusus untuk pemanfaat
sebagai penilai dalam survei, penilaian mereka, misalnya tentang “manfaat”
program, harus disesuaikan dengan pengalaman mereka sejalan dengan apa yang
mereka rasakan dan pikirkan tentang konsep “manfaat” dalam pemahaman keseharian
mereka. Akan sulit untuk memaksa ukuran konsep “manfaat” dari pemanfaat ke
dalam ukuran peneliti. Ukuran tinggi-rendah tingkat “manfaat” program dalam
perpektif pemanfaat harus disederhanakan dengan kembali merujuk kepada
pengalaman mereka sehari-hari. Cara yang paling mudah memperoleh nilai dari
pemanfaat adalah menanyakan kepada mereka dengan cara meminta mereka memberi
nilai dalam angka, misalnya angka 1-10. Cara ini jauh lebih mudah digunakan
daripada “memaksakan” pemanfaat mengatakan “sangat buruk” atau “sangat baik”.
Kemudian angka yang disebutkan, misalnya 8 dari rentang 1-10, kemudian dapat
dikonversikan ke dalam rentang nilai 1 hingga 5, sehingga masuk ke dalam
kategori angka 4. Dalam rentang penilaian ini, nilai 1 dapat digunakan sebagai
substitusi dari kondisi “sangat buruk”, nilai 2 sebagai “buruk”, nilai 3
sebagai “cukup”, nilai 4 sebagai “baik” dan nilai 5 sebagai “sangat baik”.
Dengan demikian, maka nilai 8 dari “manfaat” program menurut seorang responden
adalah sama dengan kategori “baik”. Substitisi nilai dalam skala nominal
seperti ini, dari angka menjadi kategori kualitatif atau sebaliknya, dapat
digunakan untuk menjelaskan “keadaan” dari objek yang dinilai sejalan dengan stock
of knowledge yang dimiliki pemanfaat sebagai reaponden survei. Selanjutnya,
ukuran 1-5 sebagai substitusi dari nilai “sangat buruk” hingga “sangat baik”
dapat digunakan untuk penilaian oleh subjek yang lain seperti peneliti dan staf
CD (perencana dan pelaksana).
Jika pemanfaat memberi
nilai dengan merujuk kepada pengalaman mereka, maka evaluator menilai
keberhasilan melalui kategori yang dibangun sebelumnya dan membandingkannya
dengan data yang diperoleh. Data diperoleh sebagai dasar penilaian adalah data
hasil wawancara mendalam, observasi dan data sekunder yang mungkin turut
menunjang. Data hasil survei sepenuhnya digunakan sebagai hasil penilaian
pemanfaat, sehingga tidak perlu lagi digunakan oleh peneliti untuk memberi
penilaian lebih lanjut. Kategori ini dapat berbentuk ukuran lebih numerikal
dengan memperkirakan prosentase kelompok yang menikmati program. Contoh
kategori penilaian peneliti tertera pada Tabel 5.
Pengukuran peneliti
(evaluator) mendasarkan penilaiannya pada data hasil wawancara dan observasi
(utamanya) melalui upaya kuantifikasi tingkat “manfaat” program. Cara ini
tentunya berbeda dari cara pengkuran yang digunakan pemanfaat. Walaupun hanya
sebuah contoh, logika pengukuran ini sangat disarankan digunakan dalam
melakukan penilaian evaluasi, yakni melakukan substitusi sehingga kinerja
tingkat
54
Program
keberhasilan program
dapat ditunjukan secara lebih tegas perbedaan antara kategori satu dengan
lainya. Dengan penyajian seperti ini maka pengguna atau pembaca evaluasi akan
lebih mudah memahami nilai dan derajat tinggi-rendah kinerja program jika
terhadapnya diberikan penilaian numerikal.
Untuk lebih memperkuat
penilaian peneliti dapat dibuat indeks penilaian dengan menggabungkan dan
mengeluarkan nilai rata-rata dari keseluruhan indikator atau variabel yang
digunakan (lihat Tabel 6). Misalnya dengan menggunakan empat indikator—yakni
manfaat, kesesuaian, keberlanjutan dan dampak—dari hasil penialan peneliti
dapat dihasilkan indeks kinerja program secara keseluruhan. Nilai indeks
merupakan nilai gabungan dari empat indikator hasil penilaian keseluruhan
evaluator. Nilai evaluator merupakan nilai rata-rata keseluruhan yang diberikan
masing-masing peneliti yang turut dalam penelitian lapangan sehingga
MAKARA, SOSIAL
HUMANIORA, VOL. 15, NO. 1, JULI 2011: 43-58
Tabel 5. Contoh
Kriteria Penilaian Peneliti
Dapat didefinisikan
bahwa, tingkat manfaat program adalah seberapa jauh program yang dilaksanakan
dapat meringankan beban masyarakat atau seberapa jauh program tersebut dapat
dipergunakan oleh masyarakat dalam berbagai aktivitas mereka sehari-hari. Kriteria
penilaian tingkat manfaat dilihat dari beberapa hal, yaitu: 1) Lebih dari 50%
program/bantuan dapat digunakan pada aktivitas masyarakat atau dapat
meringankan beban pemanfaat sehari-hari. Adapun untuk program pemberdayaan
ekonomi dapat menjadi sumber pendapatan alternatif keluarga. 2) Lebih dari 50%
program/bantuan dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh penerima. 3) Jumlah
pemanfaat langsung lebih dari 50% penerima program/bantuan. 4) Lebih dari 50%
program/bantuan dimanfaatkan oleh komunitas yang heterogen (tidak hanya
dinikmati oleh golongan/kelompok masyarakat tertentu. 5) Jumlah program yang
diakui adanya manfaat oleh kelompok masyarakat non-pemanfaat berjumlah lebih
dari 50% dari jumlah program/bantuan. Sumber: Irvan dalam Prayogo dkk. (2008)
Tabel 6. Indeks
Nilai Capaian
CD Index merupakan penjumlahan nilai dari empat indikator (variabel
manfaat, kesesuaian, keberlanjutan dan dampak) dan dibagi 4. Skor maksimal
adalah 5 x 4 (20), dan skor minimal adalah 1 x 4 (4), dengan kategori nilai
”sangat baik”, ”baik”, ”cukup”, ”kurang”, dan ”sangat kurang”; maka intervalnya
adalah (20 – 4) : 5 = 3,19. CD Index ini menggunakan asumsi seluruh
peneliti telah menggabungkan penilaian menjadi satu nilai yang disepakati. Skor
total, interval, dan rentang penilaian akan berbeda bila masing-masing peneliti
belum menggabungkan nilai yang diberikan kepada tiap-tiap indikator. Sumber: Irvan dalam Prayogo dkk. (2008ยช)
Tabel 7. Contoh
Penetapan Indeks Kinerja Program
Manfaat Kesesuaian
Keberlanjutan Dampak Rata-rata B R B R B R B R B R Pendidikan 4 4 4 4 3 5 4 5
3.75 4.50 Kesehatan 3 3 5 4 4 5 4 4 4.00 4.00 Ekonomi 4 4 3 3 3 4 3 3 3.25 3.50
Infrastruktur 3 4 4 5 4 3 4 4 3.75 4.00 Lingkungan 2 4 3 4 3 4 3 3 2.75 3.75
Donasi 5 3 4 3 2 3 2 2 3.25 2.75 Total Mean 3.5 3.6 3.8 3.8 3.2 4 3.3 3.5 3.45
3.75 = nilai rata-rata yang diberikan pemanfaat; R = nilai rata-rata yang
diberikan peneliti; nilai hanya bersifat contoh saja.
memahami fakta obyektif
di lapangan. Cara yang sama dapat dilakukan terhadap hasil survei pemanfaat.
Nilai indeks penilaian pemanfaat merupakan nilai total gabungan dari empat
indikator yang disurvei. Nilai indeks pemanfaat dapat diperbandingkan dengan
nilai peneliti, sehingga akan terlihat bagaimana perbedaan penilaian. Untuk
mencari nilai secara umum dapat dihitung berapa nilai gabungan rata-rata antara
nilai yang diberikan responden dan peneliti (lihat contoh Tabel 7).
Pada contoh Tabel 7
terlihat perbedaan penilaian antara pemanfaat dengan peneliti. Secara
keseluruhan nilai rata-rata yang diberikan peneliti lebih tinggi daripada nilai
rata-rata yan diberikan pemanfaat. Berbagai alasan dapat mendasari perbedaan
ini baik karena perbedaan stock of knowledge maupun perbedaan
kepentingan atau harapan. Dengan perbedaan angka ini pengguna (pembaca) dapat
melihat variasi tersebut sehingga dapat
memahami secara lebih
obyektif. Namun dengan adanya dua penilaian ini maka objektivitas penilaian
lebih tinggi daripada jika hanya digunakan satu penilaian saja. Bias
masing-masing penilai dapat dikurangi dengan menyajikan perbandingan dengan
indeks nilai yang berbeda. Kemudian, mengenai penilaian staf perencana dan
pelaksana program, penilaian mereka dapat ditambahkan secara khusus menjadi
penilaian ketiga. Jika penilaian pelaksana dan perencana dapat dimunculkan maka
akan memperkaya sekaligus mengurangi kemungkinan bias masing-masing pihak.
Namun karena umumnya jumlah staf program tidak banyak, maka penilaian merfeka
hanya dapat ditanyakan secara kualitatif saja, dan hasil penilaian ini dapat
dirata-ratakan dan dimasukan ke dalam kolom ketiga. Jika nilai staf dapat
dimasukan maka penilaian akan lebih obyektif dan prinsip triangulasi untuk
netralitas dapat diwujudkan.
3.5 Penyimpulan
Hasil Evaluasi.
Jika pengumpulan dan
analisis data sudah dilakukan dan hasil penilaian telah diformulasikan maka
tugas penting berikutnya adalah merumuskan kesimpulan evaluasi serta memberikan
rekomendasi bagi perbaikan program selanjutnya. Penarikan kesimpulan harus
dilakukan secara hati-hati dan rasional. Terdapat tiga hal penting yang perlu
diperhatikan dalam melakukan penyimpulan: pertama, kesimpulan merupakan
pernyataan hasil umum dan pokok; kedua, penjelasan tentang kesimpulan harus
logis; dan paling penting, ketiga, penjelasan didukung oleh data yang kuat.
Dengan demikian, kesimpulan hasil evaluasi merupakan intisari dari temuan hasil
penelitian. Secara kuantitatif kesimpulan penilaian dapat dilihat dari tabel
indeks kinerja program (Tabel 7). Dari tabel ini dapat ditarik kesimpulan
pokok, seperti (hanya sekedar contoh) “dari keenam bidang program, menurut
pemanfaat, program kesehatan adalah bidang yang paling baik kinerjanya;
sementara menurut evaluator, yang terbaik adalah program pendidikan”. Selain
itu, jika diperhatikan tabel yang sama, “program lingkungan adalah yang
terburuk kinerjanya menurut pemanfaat; sementara menurut evaluator adalah
program donasi”. Kesimpulan ini
ditetapkan berdasarkan data yang tertera dalam indeks nilai. Selanjutnya, untuk
memastikan bahwa kesimpulan tersebut benar dan kuat, penjelasan logis
diperlukan untuk menjelaskan mengapa ada program dengan dinilai terbaik dan
mengapa terjadi perbedaan penilaian. Penjelasan logis harus didukung oleh data,
merujuk kepada hasil wawancara mendalam, observasi dan data sekunder, apakah
keseluruhannya mendukung atau tidak kesimpulan tersebut. Dengan cara ini maka
terdapat kaitan erat antara kesimpulan penilaian, penjelasan logis dan data
sebagai dasar penarikan kesimpulan.
Selanjutnya rekomendasi
dapat dibangun dari hasil kesimpulan tersebut. Hasil data yang lain (wawancara,
observasi dan data sekunder) menjelaskan mengapa
MAKARA, SOSIAL
HUMANIORA, VOL. 15, NO. 1, JULI 2011: 43-58
55
terjadi penilaian
demikian, sekaligus data-data ini juga menjelaskan berhasil-tidaknya program
tersebut. Penjelasan baik-buruk dan berhasil-tidak dengan sendirinya sudah
mengungkapkan kekuatan dan kelemahan program. Berdasarkan identifikasi
penilaian program maka rekomendasi perbaikan dapat dikembangkan dengan merujuk
kembali kepada tujuan dan model ideal bagaimana CSR dan CD direncanakan. Rekomendasi
merupakan saran perbaikan yang perlu dilakukan, bisa sangat detil jika penting
sekali, atau cukup secara umum saja, guna perbaikan program selanjutnya. Pada
tahapan ini, evaluasi telah berhasil menunjukan bagamana kinerja capaian
program, membandingkan kembali dengan tujuan dan target program, serta
memperlihatkan kekuatan dan kelemahan program. Dari paparan ini dapat dibuat
identifikasi permasalahan tentang kelemahan (dan kekuatan agar seimbang)
program yang ada, misalnya bagaimana permasalahan penting yang terdapat pada
program tersebut. Contoh dalam Tabel 8 hanya contoh sederhana saja. Dari
gambaran tersebut, untuk menghasilkan rekomendasi yang baik dan bermanfaat
penting diperhatikan bagaimana evaluator merumuskan permasalahan yang melekat
pada program tersebut. Permasalahan muncul bisa karena isi program kurang
sesuai, manajemen tidak tepat, kerjasama antar lembaga lemah, partisipasi warga
komunitas kurang, atau masalah lainnya. Oleh sebab itu, perumusan masalah harus
sempurna dan fokus agar rekomendasi dapat dibangun secara tepat dan mudah
diimplementasikan.
Guna melengkapi
rekomendasi detil seperti di atas, dapat dibuat rekomendasi umum mencakup
saran-saran penting dan utama sifatnya yang perlu dilakukan, khususnya
berkenaan dengan keadaan internal korporasi untuk menyempurnakan program CSR
dan CD mereka. Berhasil-gagalnya program CSR dan CD ditentukan oleh banyak
faktor, bisa karena faktor internal korporasi yang kurang serius dengan program
ini, faktor eksternal pada institusi atau masyarakat penerima yang memiliki
banyak masalah di dalamnya, atau faktor eksternal pemerintah yang tidak
mendukung program tersebut. Khusus untuk korporasi, perbaikan terhadap kendala
internal lebih mudah dilakukan daripada membenahi kendala eksternal. Oleh sebab
itu, perbaikan dapat dimulai dari dalam korporasi dengan melihat kembali visi
dan misi korporasi, apakah sudah mengakomodasi fungsi sosial korporasi. Lebih
khusus lagi dapat dilihat kembali kebijakan, organisasi, program dan strategi,
budget serta komunikasi antar bagian dalam korporasi, apakah sudah memadai
untuk pengembangan program CSR dan CD menyikapi tantangan bisnis yang semakin
kompleks (Ife, 1995; Ife and Tesoriero, 2003). Dilihat dari visi dan misi
sebagian besar korporasi tambang dan migas sudah mulai merubah cara pandang
terhadap pemangku kepentingan sosial mereka. Namun implementasi visi dan misi
pada tahap kebijakan, organisasi dan budget kerap masih banyak
56
Pembangunan Prasarana Air Bersih
kekurangannya. Untuk
itu perbaikan internal secara serius perlu dilakukan guna menunjang program CSR
dan CD yang semakin signifikan perannya. Memang peran aktor (CEO) dan senior
manajer sangat penting, berdasar pengalaman, program CSR dan CD lebih dominan ditentukan
oleh cara pandang aktor daripada visi dan misi korporasi.
4. Simpulan
Seperti telah
disinggung di depan, program CSR dan CD memiliki fungsi penting tidak hanya
bagi korporasi melainkan bagi pemangku kepentingan mereka. Jika hasil evaluasi
menunjukkan bahwa kinerja program CSR dan CD sebuah korporasi sangat baik maka
hasil ini akan meningkatkan posisi korporasi terhadap pemangku kepentingan
mereka (Gauthier, 2005). Setidaknya terdapat tiga aspek penting terkait dengan
hasil evaluasi program CSR dan CD yang baik, yakni pertama, berkenaan dengan business
performance; kedua, berkenaan dengan social
legitimacy; dan ketiga, legal compliance. Ketiga aspek ini sangat
penting bagi keberhasilan baik korporasi secara khusus maupun industri tambang
dan migas secara umum. Dalam aspek kinerja bisnis terdapat dua hal penting,
yakni corporate social performance, kinerja yang berkait-erat dengan
perilaku korporasi terhadap pemangku kepentingan sosial seperti terhadap
komunitas lokal dan masyarakat umum, namun penting bagi pemangku kepentingan
bisnis mereka. Semakin baik kinerja CSR dan CD maka akan meningkatkan social
performance korporasi tersebut sehingga akan semakin baik pula corporate
image, baik terhadap konsumen maupun terhadap investor.Khususnya bagi konsumen,
kesadaran konsumen atas perilaku korporasi terhadap pelanggaran hak asasi
manusia, dampak lingkungan, korupsi atau secara umum good governance
akhir-akhir ini semakin tinggi. Pelanggaran terhadap hal-hal tersebut dapat
mengakibatkan boikot produk, sebagaimana pernah dialami oleh perusahaan minyak
Shell pada konsumen di Eropa atas kasus pelanggaran HAM di Ogoni, Nigeria. Bagi
investor, kinerja sosial akan menambah dan menarik minat karena dapat menjamin
investasi
MAKARA, SOSIAL
HUMANIORA, VOL. 15, NO. 1, JULI 2011: 43-58
1) keterlibatan
masyarakat kurang; 2) Pembangunan tidak diarahkan kepada pencarian sumber air
baru yang lebih baik.
Tabel 8. Contoh
Masalah dan Rekomendasi
Program Masalah
Rekomendasi Pembangunan Jalan 1) pembangunan belum selesai; 1) Korporasi perlu
kerjasama lebih formal dan terstruktur dengan 2) kualitas jalan dinilai buruk;
Pemda dan masyarakat agar sumberdaya dapat disatukan dan 3) kontrol terhadap
kontraktor lemah.penyelesaian pembangunan dapat dipercepat; 2) Menetapkan
standar kualitas jalan yang ingin dibangun; 3) melakukan kontrol secara berkala
terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh kontraktor.
1) Meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, misalnya membentuk organisasi
dan sistem pengelolaan air bersih berbasis masyarakat; 2) Bekerjasama dengan
Pemda dalam mengusahakan sumber air baru dan menambah sumber air yang telah
ada.
mereka, bahwa investasi
mereka secara sosial aman dari pelanggaran hukum dan etika, serta bebas dari
tekanan publik. Oleh sebab itu, secara bisnis hasil program CSR dan CD dapat
bermanfaat untuk memperkecil resiko politik bisnis bersangkutan.
Secara sosial, program
CSR dan CD yang berhasil akan meningkatkan “social legitimacy” atau
“keabsahan sosial” atas keberadaan dan operasi korporasi di lingkungan sosial
tertentu, khususnya komunitas lokal. Legitimasi sosial berkenaan dengan
bagaimana warga komunitas dalam lingkungan operasi tambang dan migas menerima
kehadiran dan kegiatan eksploitasi sumber alam. Hal ini memang terkait dengan
bagaimana manfaat ekonomi kegiatan dan hasil tambang, apakah menguntungkan
warga setempat atau sebaliknya. Salah satu upaya meningkatkan manfaat ekonomi
dapat dilakukan melalui program CSR dan CD. Oleh sebab itu kinerja CSR dan CD
merukapan media penting untuk meningkatkan relasi korporasi dengan komunitas
lokal, sekaligus sebagai strategi bagaimana membangun relasi korporasi dengan
komunitas secara saling mendukung. Dari sejumlah penelitian penulis, terungkap
bahwa terdapat kecederungan positif bahwa “semakin besar dana dan organisasi
untuk program CSR dan CD maka semakin menurun kasus-kasus konflik antara
korporasi dengan komunitas lokal” (Dody Prayogo, 2008b). Artinya, dapat
diterjemahkan bahwa semakin baik kinerja program CSR dan CD maka semakin baik
legitimasi sosial korporasi bersangkutan di hadapan komunitas lokal.
Dari aspek legal,
pelaksanaan program CSR di Indonesia khususnya akan menunjukkan sebuah
“kepatuhan hukum” serta memenuhi “tuntutan publik” bagi terciptanya good
corporate governance secara global. Khususnya di Indonesia, salah satu
pasal dalam UU pendirian perseroan yang baru mengharuskan korporasi
melaksanakan program CSR sebagai salah satu bagian dari kegiatan korporasi (UU
No. 40, 2007, tentang Perseroan Terbatas). Dengan dasar legal ini maka pelaksanaan
CSR menjadi salah satu prasyarat memenuhi “legal compliance” korporasi
untuk seluruh
industri. Walaupun
sempat kontroversial dan ditolak oleh sebagian kalangan, UU ini telah disahkan
dan berarti kewajiban korporasi untuk melaksanakan program CSR sudah berjalan.
Lebih luas lagi, ISO 26000 dalam waktu dekat akan segera disepakati dan secara bersama
dan menjadi acuan dalam praktek CSR secara global. Oleh karenanya tekanan
legal, baik secara nasional maupun global, mengharuskan korporasi untuk
melaksanakan CSR. Kinerja pelaksanaan CSR akan menunjukan tinggi-rendahnya “legal
compliance” korporasi terhadap aturan dan
etika dalam menjalankan bisnis. Lebih jauh lagi, tinggi-rendahnya “legal
compliance” akan menentukan baik-buruknya sikap dan tindakan negara dan
publik terhadap korporasi serta produk yang dihasilkannya (Prayogo, 2010).
Dengan dasar pertimbangan ini maka kinerja program CSR dan CD memiliki
implikasi sangat penting dan luas baik terhadap korporasi, negara maupun
masyarakat.
Daftar Acuan
Botes, L. & van
Rensburg, D (January 2000). Community participation in development: nine
plagues and twelve commandments. Community Development Journal,35
(1), 41-58.
Buchholtz, A.K., Allen
C.A., Matthew A.R. (1999). Beyond Resources: The mediating effect of top
management discretion and values on corporate philanthropy. Business and
Society,38 (2), 167-187.
CSRM (2005). Developing
a community impacts monitoring and management strategy: A guidance document for
Australian Coal Mining Operation. Brisbane: University of Queensland.
CSRM (2007). Assessing
and managing the socio-economic impacts of projects, A review of current mining
industry practice. Brisbane: University of Queensland.
Cresswell, J.C. (1997) Research
design, qualitative and quantitative approach. London: Sage Publications.
Dale, R. (2004). Evaluating
development programs and projects. London: Sage Publications.
Davis, G. (2002). problems,
Paper was presented at IUCN Futures Dialogues, Johanesburg, South Africa.
Denzin, N.K., &
Yvonna S.L. (2000). Handbook of qualitative research (2nd ed.). London:
Sage Publications.
Denscombe, M. (2003), The
good research guide for small scale social research project. Wiscounsin:
Open University Press.
MAKARA, SOSIAL
HUMANIORA, VOL. 15, NO. 1, JULI 2011: 43-58
Scenarios: Exploring
societal
Patton, M.Q. (1990). research
methods. London: Sage Publication.
57
Gauthier, C. (2005).
Measuring corporate social and environmental performance: The extended
life-cycle assessment. Journal of Business Ethics, 59, 199-206.
Griffin, J.J. (2000).
Corporate social performance: Research direction for 21 st century. Business and Society,39 (4),
479-491.
Gunn, C., & Hazel,
DG. (1991). Reclaiming capital, democratic initiatives and community
development. Ithaca: University
Press.Cornell
Hennigfeld, J.,
Manfred, P., & Nick, T. (2006). The ICCA handbook on corporate social
responsibility. West Sussex: John Wiley
and Sons.
Ife, J. (1995). alternatives,
vision, analysis and practice. Melbourne: Longman.
Community
development, creating
Ife, J., & Frank,
T. (2003). Community development, alternatif pengembangan masyarakat di era
globalisasi (3rd ed.). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
ISO 26000 (2007),
Working Draft 4.1, ISO/TMB/WG- SR IDTF N050.
King, J.A., Lynn, L,M.,
& Carol, T.F. (1987). How to assess program implementation. London:
Sage Publication.
Mahon, J.F. (2002).
Corporate reputation, A research agenda using strategy and stakeholder
literature. Business and Society,41 (4), 415-445.
Maignan, I., & O.C.
Ferrell (2004). Corporate social responsibility and marketing: An integrative
approach. Journal of Academy of Marketing Science,32 (1), 3-19.
Murray, J. (2004).
Corporate social responsibility discussion paper. Global Social Policy,4
(2), 171-195.
Neuman, W.L. (1994). qualitative
and quantitative approaches. New York: Allyn & Bacon.
Social research
methods,
Orlitzky, M., &
John D.B. (2001). Corporate social performance and firm risk: A meta-analytic
review. Business and Society,40 (4), 369-396.
Qualitative
evaluation and
Prayogo, D., et al.
(2007). Evaluasi program community development Conoco Phillips, Kecamatan
Palmatak dan Terempa, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau”, Laporan Penelitian,
Depok: LabSosio UI.
Prayogo, D., et al.
(2008a), “Evaluasi komprehensif program community development Premier Oil,
58
Kabupaten Natuna,
Kepulauan Riau,” Laporan Penelitian, Depok: LabSosio UI.
Prayogo, D., et al.
2008b), Konflik antara Korporasi dengan komunitas lokal, Sebuah kasus
empirik pada industri geotermal di Jawa Barat, Depok: FISIP UI Press.
Prayogo, D., et al.
(2008c), “Corporate cocial responsibility, social justice dan distributive
welfare dalam industri tambang dan migas di Indonesia,” Galang, Vol. 3
No. 3, 57-74.
Prayogo, D., et al.
(2010). Anatomi konflik antara korporasi dengan komunitas lokal pada industri
geotermal di Jawa Barat. Makara seri Sosial Humaniora, 14 (1),
25-34
Prayogo, D., et al.
(2010) “Studi Evaluasi dan Rencana Pengembangan Program Community Development
Industri Tambang Granit, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau”, Laporan
Penelitian, Depok: LabSosio UI.
MAKARA, SOSIAL
HUMANIORA, VOL. 15, NO. 1, JULI 2011: 43-58
Sharma, S., Amy L.P.,
& Vredenburg, H. (1999). Corporate environmental responsiveness strategies,
the importance of issue interpretation and organizational context. The
Journal of Applied Behavioral Science,35 (1), 87-108.
Stone, B.A. (2001).
Corporate social responsibility and institutional investment. Business and
Society,40 (1), 112-117.
Undang-Undang No. 40
(2007), tentang Perseroan Terbatas.
Wartick, S.L., (2002).
Measuring corporate reputation, definition and data. Business and Society,41
(4), 371-392.
Warhurst, A. (2001).
Corporate citizenship and corporate social investment, drivers of tri-sector
partnership. JCC.
Yakoveleva, N. (2005), Corporate
social responsibility in the mining industries. London: Ashgat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar